AKTA GEREJA TAHUN 1990 (Ketetapan PS XV No. VII/PS.GPIB/1990)

Pendahuluan

Akta Gereja merupakan fatwa. Petunjuk praktis mengenai masalah yang belum ditetapkan dalam Peraturan Gereja. Tidak mustahil sekali kelak Akta tidak dibutuhkan lagi, atau dianggap terlalu jauh melihat ke depan, karena itu dianggap kurang mengena dengan keadaan yang ada. Akta Gereja adalah hasil telaah situasi beserta pembahasan teologis / pemahaman Gereja yang memberikan dasar-dasar dan pedoman penyelesaiannya. Mengacu pada urutan yang telah ada di dalam Buku Keputusan Persidangan Sinode XIV di Denpasar-Bali, penugasan yang diberikan menyangkut pokok-pokok sebagai berikut :

  1. Pernikahan
  2. Wilayah Pelayanan
  3. Pendeta Wanita
  4. Persekutuan Oikoumene Umat Kristen / POUK
  5. Bayi Tabung
  6. Operasi Kelamin
  7. Pertunangan
  8. Perceraian
  9. Euthanasia.
PERNIKAHAN
  1. Masalah :
    1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, khusus mengenai pelaksanaan Perkawinan Kristen-Protestan dalam buku UU No. 1 Tahun 1974 bagian penjelasan (halaman 30) Pasal 2 :
      “Yang dimaksud dengan hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan Agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
      1. Menurut pandangan Gereja urutan Pelaksanaan Perkawinan, adalah :
        1. Perkawinan Pencatatan Sipil, pada saat berikut hari / tanggal yang sama dilaksanakan;
        2. Peneguhan / pemberkatan Perkawinan tersebut oleh Pejabat Gereja.
      2. Pemahaman – telaah Gereja : Setelah memenuhi semua persyaratan pada Bab II Pasal 6 dan 7 : Orang tua sebagai instansi pertama yang menentukan Perkawinan-perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan Undang-undang yang berlaku (Bab I Pasal 2 ayat 2), diikuti dengan Peneguhan dan Pemberkatan Perkawinan tersebut oleh Pejabat Gereja.
    2. Kesimpulan Telaah Gereja :
      1. Persetujuan kedua pihak orang tua (Bab II Pasal 6 ayat 2) atau persetujuan kedua calon mempelai (Bab II Pasal 6 ayat 1) merupakan instansi pertama yang menentukan dasar kemanusiaan lahir dan batin bagi perkawinan tersebut. Dasar kemanusiaan dari instansi pertama dimaksud itu dicatat menurut peraturan Undang-undang yang berlaku (Bab I Pasal 2 ayat 2). Dalam hal ini kewenangan hukum bukan hanya mencatat, lebih dari mencatat yakni menyatakan keabsahan Perkawinan berdasarkan pengakuan kedua mempelai (Bab II Pasal 6 ayat 1) atau pengakuan persetujuan orang tua (Bab II Pasal 6 ayat 2) dihadapan para saksi Perkawinan menyatakan kesediaan mentaati Hukum yang mengatur (UUU 1945 Pasal 27ayat 1). Setelah segalanya jelas (instansi pertama dan instansi kedua / Hukum) barulah Pejabat Agama / Gereja mensahkan – meneguhkan dan memberkati semua keputusan pada instansi pertama dan kedua tersebut (hal mana sesuai UU No. 1 tahun 1974 Bab I pasal 2 ayat 1) dan sesuai UUD 1945 Bab XI Pasal 29).
      2. Dengan cara / telaah Gereja (Roma 13 ayat 1 :”Tiap-tiap orang harus taat kepada Pemerintah yang di atasnya, sebab tdak ada Pemerintah yang tidak berasal dari Allah ; dan Pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah”).
    3. Prinsip penyelesaian :
      1. Paham Theologia Protestan / telaah Gereja Protestan adalah bahwa Gereja meneguhkan dan memberkati Perkawinan, bukan mensahkan perkawinan. Sahnya perkawinan sesuai aturan instansi pertama dan kedua telah diuraikan di atas.
      2. Pemberkatan Perkawinan di Gereja harus memenuhi persyaratan-persyaratan Gerejawi yang ditentukan Gereja.
      3. Pemberkatan Perkawinan didahului oleh Penggembalaan Perkawinan / Katekese Perkawinan yang bersifat pengajaran, penyuluhan dan penggembalaan. Lamanya Penggembalaan / Katekese Perkawinan diatur oleh Pendeta / Peraturan setempat.
      4. Di tiap Jemaat diadakan “Lembaga / Unit / Komisi Kesejahteraan Keluarga dan bantuan Hukum untuk menangani masalah perkawinan dan keluarga secara luas demi tercapai Keluarga Sejahtera lahir-batin, di samping tugas lain yang berhubungan dengan Pembangunan Sumber daya manusia yang diadakan dalam Keluarga-keluarga Kristen.
    4. Petunjuk Pelaksanaan :
      1. Hendaknya dalam pengurusan Perkawinan, semua surat yang dibutuhkan untuk Pencatatan Sipil, duplikatnya diberikan kepada Gereja / Jemaat setempat.
      2. Semua Perkawinan Warga Gereja GPIB hendaknya didahului oleh pengurusan / pendaftaran di Pencatatan Sipil.
      3. GPIB perlu mempunyai “Surat Keterangan Gereja” yang seragam, sebagai jaminan bagi pihak Pencatatan Sipil untuk lebih dahulu mensahkan Perkawinan sebelum diteguhkan atau diberkati oleh Gereja.
      4. Lembaga Kesejahteraan Keluarga dan Bantuan Hukum yang diadakan oleh Gereja membina hubungan dengan Pemerintah / Penegak Hukum terutama Kantor / Pejabat Pencatatan Sipil setempat untuk mendapatkan pemahaman yang sama bagi teknis pelaksanaan Perkawinan.
    5. Rekomendasi :
      1. Agar di setiap wilayah pelayanan GPIB dapat diusulkan Pendeta / Penginjil atau anggota Jemaat kepada Pemerintah, untuk diangkat menjadi Pembantu Pegawai Perncatat Perkawinan di Propensi yang bersangkutan.
      2. Agar materi Katekisasi Perkawinan juga memperhatikan pembahasan Etika Seksual – Pergaulan Muda-mudi, Pra Perkawinan, Perkawinan dan Post Perkawinan dll. bagi kemantapan tiap Keluarga menjadi keluarga Sejahtera dan bertanggung jawab atas keselamatan yang dikehendaki Allah bagi keluarganya.
      3. Perkawinan Kristen tidak terlepas hubungannya dengan Pembinaan, Pengajaran, Penggembalaan dan Penyuluhan yang diadakan oleh Lembaga / Unit / Komisi Kesejahteraan Keluarga dan Bantuan Hukum demi terlaksananya Pembinaan Keluarga Pembina Sumber Daya Manusia.
WILAYAH PELAYANAN

Pendahuluan :
Sesuai dengan perkembangan pelayanan dalam Jemaat GPIB, maka penataan kembali batas wilayah perlu ditegaskan, sehingga tidak menimbulkan benturan-benturan pelayanan. Namun ketegasan tersebut hendaknya tidak membatasi warga jemaat beribadah di tempat ibadah Jemaat GPIB yang lain, meskipun secara administratif terdaftar pada Jemaat tertentu, di mana ia bermukim.

  1. . Masalah :
    1. Peraturan Pokok Nomor 1 Pasal 1 ayat 1 : Jemaat adalah Persekutuan warga GPIB di tempat tertentu dalam wilayah pelayanan GPIB. Kehadiran dan pertumbuhannya tampak dalam kehidupan Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan secara tertib dan teratur.
      Ayat 3       : Jemaat mempunyai anggota-anggota, Pimpinan dan Wilayah Pelayanan.
      Persekutuan-persekutuan yang berada di suatu wilayah pelayanan GPIB ditinjau kembali keberadaannya.
      Pasal 2      : Wilayah Pelayanan Jemaat ditetapkan oleh Majelis Sinode.
      Penjelasan : Wilayah Pelayanan dapat di tata melalui pembagian sektor-sektor pelayanan sesuai perkembangan.
      1. Penjelasan
        Ada tiga masalah dasar yang terkait, bila dipahami masalah tersebut dengan kewenangan parokhial semata justru akan menimbulkan permasalahan. Kewenangan Panggilan Gereja / Kesatuan / Sinodal, masalah tersebut dapat diatasi dalam konsensus antar JemaatJemaat / Parokhial yang bersangkutan.
        Ketiga masalah dasar ialah :
        1. Warga : Tempat bekerjanya jauh dari pemukiman – kegiatan pelayanannya di instansinya, dilaporkan kepada Jemaat yang dalam Wilayah Jemaat dimana instansinya itu berlokasi; juga kepada Jemaat – tempat ia bermukim dan terdaftar.
          Atas inisiatif warga bersangkutan kedua Jemaat dilibatkan bagi pelayanan pada instansi dalam mana diadakan Pelayanan warga bersangkutan
        2. Secara Administratif : pelayanan pada instansinya terdaftar dalam kegiatan Jemaat yang dalam wilayahnya instansi tersebut berada. Karya pelayanan dan bhaktinya, dilaporkan dan menjadi binaan personalia Pelayanan dilakukan oleh Jemaat Wilayah Pemukimannya.
        3. Wilayah Jemaat untuk kasus / ikhwal seperti ini, bukan merupakan masalahJelas penataan yang disebutkan dalam butir i dan ii di atas menyangkut keprihatinan Gereja (kedua Jemaat yang bersangkutan) yang mengembangkan Persekutuan (lingkungan kekaryaan warga), Kesaksian dan Pelayanan warga (dalam pemahaman Iman, bhakti sosial dan pengembangan sumber daya manusia menyangkut iman dan perbuatan warga bersangkutan) dalam rangka misi warga Gereja yang diatur di bawah asuhan Gereja / Jemaat secara bersama.
      2. Wilayah, keanggotaan dan Administrasi dari dua Jemaat atau lebih yang saling berbatas : Mengenai hal ini, ada 5 masalah, yakni :
        1. Warga diperbatasan wilayah.
        2. Administrasi Kewargaan diperbatasan wilayah.
        3. Luas areal di garis batas wilayah.
        4. Ikatan sosio-psikhologis dengan jemaat semula pada warga yang dalam wilayah Jemaat tertentu.
        5. Masalah jarak dan route kendaraan umum.
      3. Wilayah Pemekaran Pemukiman
        Ada beberapa permasalahan, antara lain :
        1. Pemekaran pemukiman pada lahan antara 2 atau lebih Jemaat-Jemaat yang saling berbatas, lahan mana sebelumnya merupakan tanah-tanah kosong / sawah / rawa / tanah tandus.
        2. Agar Majelis Sinode GPIB menetapkan batas-batas Pelayanan sebagai lampiran dari Surat Keputusan Pelembagaan Jemaat, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
    2. Kesimpulan Pembahasan :
      1. Mengenai butir 1.1.A. dalam uraian ini cukup jelas dan menjadi kewenangan Pelkes Pelayanan Masyarakat Kota dan Industri.
      2. Mengenai butir B, butir i, ii, iii dikompromi oleh kedua Jemaat atau lebih yang saling berbatasan Wilayah agar ada saling memberikan peluang Pelayanan kepada warga oleh Jemaat di mana ia mendaftarkan diri.
      3. Butir B, iv dan v, Ibadah Hari Minggu dan keperluan Sakramen pada Ibadah Hari Minggu, diadakah oleh Jemaat semula dengan pemberitahuan oleh warga yang bersangkutan dan Jemaat semula kepada Jemaat yang dalam wilayah pelayanannya warga yang bersangkutan bermukim dan terdaftar.
        Pelayanan lain, hak dan kewajiban kewargaan dari warga yang bersangkutan dalam kaitan dengan Jemaat yang dalam wilayahnya, warga yang bersangkutan bermukim dan terdaftar. Jemaat semula (B.iv) dan atau Jemaat pencapaian (B.v) menetapkan bagi warga yang bersangkutan mendaftarkan diri pada Jemaat yang dalam wilayahnya ia bermukim.
      4. Wilayah pemekaran pemukiman C. i., agar diatur bersama di dalam wilayah Pelayanan – pelayanan bersama Jemaat – Jemaat yang saling berbatasan dengan wilayah pemukiman type ini, agar kelak menjadi Jemaat baru yang dilembagakan (Contoh : Jemaat Bhaskara dan Cahaya Kasih – Surabaya).
      5. Wilayah pemekaran pemukiman C. ii. Pelayanan dan penyiapan pelembagaannya diatur oleh Jemaat dan / Jemaat – Jemaat pencapaian (Contoh : Wilayah Pemukiman Serpong, Bulak Kapal, Jaka Sampurna)
    3. Prinsip penyelesaian :
      1. Perlu ditegaskan bahwa sesuai Peraturan Pokok GPIB Nomor 1 Tahun 1982 maka GPIB dalam peraturan dan strukturnya tidak mengenal bentuk Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian lain dari pada “Jemaat” / misi warga binaan Gereja:
        1. Pelkes Pelayanan Masyarakat Kota dan Industri merupakan bagian dari Komisi Pelkes di Jemaat – Jemaat, namun koordinasi fungsionalnya pada jasa BP Mupel – Regio / kawasan.
        2. Semua yang disebutkan dalam butir 1. Masalah 2. Kesimpulan Pembahasan berada dalam kemampuan Gereja mengadakan antisipasi terus menerus terhadap kebutuhan pelayanan yang ada pada warga, dengan cara :
          - Dimanfaatkan fungsionalisme BP Mupel – Regio terkait dengan
          - Kewenangan Struktural pada Jemaat dan
          - Kewenangan Struktural pada Majelis Sinode, diatur dengan lancar.
      2. Kategori profesi menentukan pemahaman pelayanan dan pewilayahan masa depan Gereja, dilaksanakan sesuai misi warga dalam binaan Gereja (butir 3.1.i dan ii).
      3. Bentuk-bentuk pelayanan dalam masyarakat dengan kategori profesi terkait dengan loyalitas warga kepada GPIB.
        1. Terdaftar secara administratif dalam Jemaat.
        2. Memahami fungsionalisme BP Mupel – Regio dan menjamin
        3. kewenangan struktural-Sinodal pada Majelis Sinode GPIB.
      4. Ketatalayanan GPIB di masa depan adalah pembentukan prakondisi dan kondisi Pembinaan Warga Gereja intensif tergambar dalam Tata Administratif yang terbuka mengadaptasi perubahan-perubahan sosial ke dalam tata kehidupan sosial Gerejawi, dibutuhkan adanya “pusat-pusat Pembinaan Warga Gereja” di tiap Wilayah Mupel yang intensif, hal mana ditetapkan oleh Persidangan Sinode GPIB.
    4. Petunjuk Pelaksanaan :
      1. Warga Jemaat harus terdaftar dalam Jemaat tertentu dengan wilayah tertentu pula
      2. Perlu Pejabat Gereja maupun warga yang bersangkutan memahami konteks pelayanan secara lebih berdimensi kemasyarakatan dalam arti yang luas
      3. Warga Jemaat perlu dibina lebih teratur dan intensif untuk menyadari bahwa aktifitas pelayanan yang dilakukan di luar wilayah Jemaat secara administratif merupakan tugas pengutusan Jemaat termaksud dan dalam konteks GPIB secara utuh.
      4. Untuk kota-kota besar dan wilayah industri, maupun pedalaman / wilayah transmigrasi – sektoral pertanian / perkebunan / kehutanan, perlu koordinasi pelayanan berdasarkan pendekatan profesi terkait dengan Misi Warga binaan Jemaat dan Sinodal dan dalam fungsi BP Mupel – Regio.
      5. Perjamuan ketatalayanan misiologi GPIB dengan pendekatan profesioal, membutuhkan wadah-wadah koordinatif secara fungsional dalam tatanan / kerangka struktural administratif – namun Pendekatan Oikoumenis perlu dipahami dalam kewenangan Gereja.
      6. Surat Keputusan Pelembagaan Jemaat – Jemaat GPIB ditinjau kembali.
    5. Rekomendasi
      1. Diperlukan pembinaan khusus dan secara bersama dalam koordinasi fungsional bagi Warga Gereja yang melayani dalam pelayanan profesi di luar wilayah Administratif, agar seluruh aktivitas pelayanan berbasis dalam Gereja melalui pengutusan oleh Jemaat.
      2. Khusus untuk Jemaat – Jemaat kota besar dan wilayah Industri, maupun wilayah pertanian / perkebunan / kehutanan dan transmigrasi diperlukan unit pelayanan khusus dalam struktur pelayanan Jemaat yang menangani pelayanan pada kategori di luar Administratif.
      3. Agar adanya koordinasi lebih luas, serasi dan seimbang antar Jemaat – Jemaat, dalam Wilayah / Regio, BP Mupel – Regio menjalankan fungsi koordinatif dalam Unit secara Wilayah – Mupel – Regio.
PENDETA WANITA

Persidangan Sinode XV GPIB memutuskan kata “Wanita” dalam Akta tentang “Pendeta Wanita” dihapus. Berdasarkan hal itu, maka tidak lagi diperlukan akta tentang “Pendeta Wanita”

PERSEKUTUAN OIKOUMENE UMAT KRISTEN

Telaah POUK POUK diadakan untuk melakukan koordinasi Pembinaan sosial religius Kristiani dalam wilayah pemukiman baru :
- Pembinaan mental, etik dan spiritual Kristen dalam konteks lingkungan RT / RW Desa sebagai partisipasi Pembinaan Lingkungan masyarakat dalam kaitan dengan program Pemerintah Desa, terkait kewenangan partisipasi Jemaat GPIB.
- Dalam hal belum ada Jemaat Denominasi Kristen, POUK membantu kelancaran diadakannya Jemaat – Denominasi tertentu.
- Dalam telaah sosial religius yang lebih luas (antar Denominasi Kristen, antar Umat-Umat beragama dengan Pemerintah secara timbal balik) POUK hendaknya membangun sikap positif dalam Tri Kerukunan umat beragama, maka POUK tidak boleh terlepas kaitannya dengan Jemaat / Gereja – Gereja.

  1. Permasalahan :
    1. Banyak POUK yang menjalankan fungsi dan tugas administrasi Gereja dalam pemahaman mereka sendiri.
    2. Peraturan PGI mengenai POUK dinilai tumpang tindih tanpa dibedakan dengan pola dan corak Pelayanan Gereja;
    3. Kenyataan adanya POUK yang berkembang menjadi “Gereja Oikoumene”, sekalipun pada prinsipnya tidak bermaksud demikian, ada pula sadar / tidaknya :
      1. Melegalisasi orang / kelompok oportunis karena berbagai alasan pandangan atau sikapnya terhadap Jemaat – Denominasi, untuk kepentingan lain.
      2. Merelatifkan faham / pandangan ajaran dan Hukum Gereja, Denominasi dengan alasan kecenderungan-kecenderungan temporer dan emosional;
      3. Berkembangnya dan menghimpun orang-orang yang sama tipe psykho-relidious yang dilembagakan.
    4. Banyak warga GPIB menjadi warga POUK (sering hanya seorang dua saja dari Denominasi lain) melakukan tanggung jawab rangkap dan tidak berbasis pada Jemaat, justru tidak berfungsi sesuai warga Jemaat / GPIB yang bertanggung jawab terhadap Jemaat / GPIB. 1.5. Sikap yang bertentangan dengan ikrar kewargaan GPIB (pendaftaran Atestasi dan Janji Peneguhan Sidi GPIB) menjadi teladan yang tidak terpuji baik terhadap sesama anggota POUK, maupun terhadap anggota / Gereja Denominasi lain dan Agama-agama.
  2. Kesimpulan Pembahasan :
    1. Pemahaman tentang POUK, harus dilihat dalam telaah Oikoumene yang bertumpu pada ekklesiologi.
    2. Pemahaman tentang POUK, dilakukan dalam kebersamaan Gereja-Gereja dalam koordinasi PGIW, dengan pengertian :
    3. Dengan Pemahaman tentang POUK, pengaturan butir 2.2. bagian ini, agar warga GPIB maupun warga Jemaat / Gereja Denominasi, dan saling menghargai antara status dan fungsi Gerejawi antar Jemaat / Gereja Denominasi.
    4. Perlu diadakan penataan ulang terhadap POUK dan kewargaannya yang telah jauh melangkah mengadakan kekeliruan bukan sematamata kesalahan mereka.
  3. Prinsip penyelesaian :
    1. GPIB adalah bagian dari Gerja yang Esa, Kudus dan Rasuli karena itu sama menghormati Gereja – Gereja Denominasi lain yang dinyatakan keabsahannya oleh Pengakuan Gereja – Gereja dan dengan legalisasi Departemen Agama.
    2. Pengembangan keesaan harus berbasis pada Jemaat dan antar Jemaat / Gereja Denominasi, barulah meluas secara vertikal / wewenang struktural dan horisontal / wewenang fungsional.
    3. Haruslah ditingkatkan pemahaman Oikoumene yang dangkal dan sempit, diganti dengan pemahaman yang bertumpu pada Ekklesiologi dna misiologi.
    4. Kedisiplinan kelembagaan Gereja haruslah terkait bahkan membuka jalan yang tepat bagi penyelenggaraan disiplin dan wawasan nasional.
  4. Petunjuk Pelaksanaan :
    1. POUK adalah Persekutuan yang dibentuk oleh PGI untuk menangani pelayanan bagi anggota-anggota Jemaat dari Gereja – Gereja Anggota PGI yang tersebar di wilayah Pemukiman Baru.
    2. Tugas dan Penugasan POUK dalam usaha dan pola kerjasama Gereja – Gereja dan / dalam koordinasi fungsional PGIW dan PGI.
    3. Berkenaan dengan pelayanan POUK dalam keterlibatan Gereja – Gereja, maka warga yang berdomisili jauh dari Jemaat GPIB / tempat ibadah GPIB, berpartisipasi dalam pelayanan POUK namun tetap berbasis pada / dalam Jemaat GPIB.
    4. Warga GPIB yang menjadi pengurus suatu POUK adalah Majelis Jemaat GPIB atau Warga GPIB yang ditunjuk untuk maksud itu bertanggung jawab kepada Majelis Jemaat GPIB.
    5. Perlu diselenggarakan Pelayanan dan perkunjungan secara intensif kepada warga jemaat di dalam wilayah POUK yang tidak resmi, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
    6. GPIB tetap berpegang pada kesepakatan yang diputuskan dalam sidang PGI.
  5. Rekomendasi
    1. Agar Majelis Sinode GPIB terus mengembangkan pemahaman POUK yang sepadan dengan faham Ekklesiologi yang sesungguhnya agar POUK tidak terjebak menjadi alat bagi kepentingan lain, yang tidak Gerejawi.
    2. POUK yang melegalisir atau dilegalisir oleh dan / untuk Persekutuan Independen, sebaiknya dibubarkan atau ditiadakan, maka perlu diadakan :
      1. Didaftarkan semua POUK yang resmi sesuai ketentuan formal Jemaat – Jemaat / Gereja Denominasi dan dikoordinasikan PGIW dengan persetujuan kerjasama Gereja – Gereja anggota PGIW.
      2. Diumumkan resmi kepada semua Gereja – Gereja Anggota PGIW / BKAG / Bamag POUK yang dimaksud butir 5.2.i. ini.
      3. Warga maupun POUK yang bersedia mengikuti ketentuan / usaha formal agar tidak dipersulit dan / tidak diterima sebagai pihak yang tertuduh tetapi secra wajar, serasi dan dinamis.
BAYI TABUNG
  1. Masalah :
    1. Perkawinan adalah hal yang suci dalam pemahaman Iman Kristen.
    2. Pandangan masyarakat Timur tentang kehadiran anak dalam keluarga sah perkawinannya merupakan pemahaman kecocokan yang patut dihormati.
    3. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam Bioteknologi, harus dikendalikan, agar jangan menjadi bencana.
  2. Kesimpulan Pembahasan :
    1. Adalah hak suami-isteri untuk mengusahakan keturunan.
    2. Usaha termaksud sah, sejauh dilakukan oleh kedua suami-isteri tersebut dengan cara :
      1. Tanpa mengikutsertakan unsur dari dan benih pihak ketiga
      2. Tanpa intervensi ilmu dan teknologi yang bertentangan dengan kodrat pembentukan dalam hal formula bio tehnik ilmiah melenyap formula unsur dari dan benih kodrati.
      3. Ikhwal yang dimaksud butir 2.2.i dan ii, perlu dilakukan dalam kejujuran para Dokter / para medis yang menangani dan sesuai sumpah profesi kedokteran.
    3. Perkawinan pada tahap paling mendasar, adalah ungkapan cinta kasih. Bukan sekedar hubungan jasmani;
      1. Karena satu dan lain hal suami dan atau isteri tidak dapat mengadakan hubungan jasmani, namun sperma dan sel telur suami-isteri berfungsi dengan normal, mereka dapat menggunakan bantuan Bioteknologi dan sesuai dengan maksud butir 2.2.i. dan ii di atas;
      2. Tanpa menggunakan rahim pihak ketiga. Bila berdasarkan pemeriksaan medis, rahim isteri tidak berfungsi secara normal, suamiisteri perlu membatalkan niat mereka tanpa mengorbankan orang lain / rahim pihak ketiga – janganlah tujuan menghalalkan cara.
  3. Prinsip penyelesaian :
    1. Kemajuan Bioteknologi harus diabadikan pada kebahagiaan umat manusia, namun harus pula menghormati ikhwal kodrati dari pasangan suami-isteri yang sah tersebut;
    2. Dalam hubungan maksud 3.1. Kesejahteraan manusia khususnya suami-isteri, harus diusahakan tanpa merendahkan martabat manusia dan suami-isteri yang bersangkutan sebagaimana mahkota Ciptaan Tuhan.
    3. Pelayanan Pastoral bagi mereka yang memerlukannya karena gunakan cara bayi tabung adalah hal yang mutlak diadakan.
  4. Petunjuk Pelaksanaan :
    1. Warga Jemaat boleh menggunakan metode bayi tabung sebagai bantuan.
    2. Bayi tabung tidak boleh menggunakan unsur dari dan benih pihak ketiga atau rahim pihak ketiga.
    3. Bayi tabung hanya bisa dilaksanakan oleh pasangan suami-isteri yang sah.
  5. Rekomendasi :
    1. Unit Litbang dalam Jemaat perlu diseragamkan dan secara khusus memperhatikan / mengikuti perkembangan Iptek bagi palayanan dan Kesaksian Jemaat
OPERASI KELAINAN ALAT KELAMIN
  1. Masalah :
    1. Operasi kelamin populernya diawali dalam kehidupan masyarakat perkotaan dan industri.
    2. Persepsi warga gereja tentang operasi kelamin harus diluruskan.
    3. Ada bahaya, bahwa kehidupan seksual yang wajar dimanupulasi oleh egoisme pribadi, dengan menyalahgunakan kemajuan Iptek, khususnya Bioteknologi
  2. Kesimpulan Pembahasan :
    1. Kehidupan Seksual adalah anugerah Tuhan, harus digunakan sesuai maksud Tuhan.
    2. Operasi kelamin adalah pertolongan medis yang dilakukan bagi mereka yang karena kelainan fisik / tidak berfungsi sebagai mana mestinya.
    3. Operasi kelamin adalah bantuan terhadap kelamin dan bukan penggantian jenis kelamin
  3. Prinsip penyelesaian :
    1. Operasi kelamin dilaksanakan sejauh gangguan kerusakan atau ketidaksempurnaan fisik.
    2. Sekalipun penggantian jenis kelamin kelak dengan mudah dapat dilakukan karena kemajuan bioteknologi, namun tidak boleh diadakan penggantian jenis kelamin.
    3. Kelainan psykologis harus ditangani secara psykologis, tidak harus dijadikan alasan untuk operasi kelamin atau ganti jenis kelamin.
    4. Pelayanan pastoral dapat dilakukan setelah adanya konsultasi / kerjasama dan koordinasi bersama dokter mengenai suami –isteri
  4. Petunjuk Pelaksanaan :
    1. Warga Jemaat boleh menggunakan operasi kelamin sebagai penyempurnaan fisik.
    2. Tidak dibenarkan penggantian jenis kelamin.
    3. Dalam rangka operasi termaksud, warga Jemaat berkonsultasi dengan Pendeta Jemaat dan Dokter/para medis untuk menanggulangi masalah dan kemungkinan lain yang bisa terjadi kelak.