AKTA GEREJA TAHUN 1986 / (Ketetapan PS XIV No. VIII/PS.GPIB/1986)

PERNIKAHAN CAMPURAN
  1. Masalah :
    1. Yang dimaksud dengan Pernikahan Campuran disini adalah pernikahan antara dua orang yang berbeda agama. Perkembangan Masyarakat Inodensia yang Majemuk dan makin tebuka merupakan konteks kehadiran warga GPIB yang semakin sering menghadapi masalah ini. Bukan hanya pernikahan antara warga gereja Kristen Protestan / GPIB dengan yang beragama Roma Katolik / NonProtestan tetapi juga dengan yang beragama non-Kristen.
    2. Dalam kaitan dengan Undang-undang Perkawinan R.I. Nomor 1 Tahun 1974, disamping pemberlakuan Undang-undang tersebut yang belum seragam dalam pelaksanaan dan pengertiannya, pernikahan antara dua orang yang berbeda agama belum diatur.
    3. Dalam kehidupan bergereja / GPIB, sering terjadi pemisahan antara Sakramen Baptisan Dewasa dengan Peneguhan Anggota Sidi Gereja, hanya untuk memenuhi ketentuan Administratip yang dituntut oleh Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut.
  2. Kesimpulan Pembahasan
    1. Masih diperlukan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai dasar-dasar Teologia tentang boleh tidaknya pelaksanaan pemberkatan nikah bagi pasangan yang berbeda agama;
    2. Perlu digariskan Pedoman Penggembalaan mengenai Nikah Campuran oleh Majelis Sinode. Pedoman dimaksud harus memperhatikan kepentingan program penggembalaan yang berkesinambungan dan berkaitan dengan Pembinaan Warga Gereja (PWG);
    3. Majelis Sinode hendaknya mengadakan konsultasi dengan Gereja Roma Katolik tentang pelaksanaan peneguhan dan pemberkatan Nikah Campuran tersebut, dengan pengertian apabila pernikahan campuran antara kedua warga gereja terjadi, maka yang diteguhkan dan / atau diberkati adalah kedua mempelai, bukan salah seorang saja. Contoh-contoh positip yang terjadi di daerah-daerah supaya menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam percakapan ini dan pedoman selanjutnya.
  3. Prinsip Penyelesaian
    1. GPIB tidak menganut paham ‘pemisahan Sakramen bagi orang dewasa’. Karena itu pemisahan Sakramen Baptisan dengan Peneguhan Sidi dan Perjamuan Kudus bagi orang dewasa, tidak boleh terjadi di lingkungan GPIB;
    2. Peneguhan dan Pemberkatan Nikah hendaknya dipahami sebagai ‘Penyertaan dan pemberitan tugas oleh Allah kepada kedua mempelai’ untuk mewujudkan kehidupan pernikahan sebagaimana dikehendakiNya.
  4. Petunjuk Pelaksanaan
    1. Peneguhan dan Pemberkatan Nikah hanya dilayani bagi warga GPIB, atau bagi warga gereja lain dengan izin tertulis dari Pimpinan Jemaat / Gereja tersebut.
    2. Untuk menolong warga jemaat memenuhi ketentuan administratrip, khusus bagi mereka yang belum mengalami Sakramen Baptisan, dapat diberikan Surat Keterangan Keanggotaan Gereja / GPIB oleh Majelis Jemaat dimana warga tersebut terdaftar kepada Pemerintah di Kantor Catatan Sipil. Sebelumnya, warga jemaat tersebut harus membuat Surat Pernyataan di atas kertas bermeterai;
    3. Majelis Sinode GPIB membuat formulir yang seragam untuk digunakan di seluruh jemaat GPIB, Surat Keterangan Keanggotaan Gereja / GPIB dimaksud;
    4. Pasangan yang mulanya non-Kristen dan menikah sebelum menjadi Kristen, bila kemudian dibaptis dan diteguhkan sebagai warga sidi gereja, maka pernikahannya dapat diberkati;
    5. Pelaksanaan peneguhan dan pemberkatan Nikah bagi pasangan Protestan dan Roma Katolik dilayani dengan Tata Ibadah / Liturgi Khusus, yang disepakati bersama.

 

PEMBAHARUAN PENGAKUAN
  1. Masalah
    1. Yang dimaksud dengan Pembaharuan Pengakuan adalah Pembaharuan Pengakuan Iman. Pembaharuan Pengakuan ini perlu dilakukan oleh seseorang warga gereja yang pernah beralih agama ke agama lain, yang ternyata kemudian kembali ke dalam persekutuan GPIB;
    2. Intensitas pergaulan di dalam masyarakat yang majemuk dengan pergeseran nilai yang menjadi begitu praktis akibat modernisasi, makin mempersering terjadinya kasus di atas, dan bagi warga GPIB memerlukan pengaturan yang jelas.
  2. Kesimpulan Pembahasan
    1. Diperlukan usaha yang sungguh-sungguh menganai dasar Teologia tentang Pembaharuan Pengakuan ini, supaya diperoleh rumusan teologis yang mendasar;
    2. Perlu digariskan pedoman Penggembalaan yang digariskan oleh Majelis Sinode dan Tata Ibadah / Liturgi khusus untuk penyelesaian masalah ini.
  3. Prinsip Penyelesaian
    1. Pembaharuan Pengakuan adalah Pembaharuan Pengakuan seseorang sebagai Pengikut Kristus; bukan masalah Pengakuan Dosa dalam artian moral;
    2. Baptisan ulang tidak dilaksanakan, namun yang bersangkutan diwajibkan menjalani Katekisasi kembali.
  4. Petunjuk Pelaksanan
    1. Kasus ini harus ditanggulangi dan dilayani dengan Penggembalaan Khusus.
    2. Pembaharuan Pengakuan dilaksanakan dalam semangat “kembalinya anak yang hilang” dan bukan sebagai proses atau tindakan penghakiman;
    3. Pembaharuan Pengakuan dilaksanakan dalam suatu Ibadah Pengucapan Syukur dalam Ibadah Rumah Tangga / Kebaktian Rumah Tangga dengan menggunakan Tata Ibadah Khusus yang disusun oleh Majelis Sinode

 

SUMPAH JABATAN
  1. Masalah
    1. Pelayanan Gereja terhadap Masyarakat termasuk pula partisipasi Gereja dalam Upacara Kemasyarakatan;
    2. Dalam hal sumpat jabatan, pihak Pemerintah telah mengatur Tata Cara dan mempunyai Rumusan-rumusan yang tetap.
    3. Penggunaan Toga / Pakaian Jabatan Pendeta dalam Upacara pengambilan sumpah jabatan oleh mereka yang bukan Pendeta / Penginjil tidak dibenarkan.
  2. Kesimpulan Pembahasan
    1. Majelis Sinode perlu mengemukakan pendangan kepada Departemen Agama R.I. melalui dan bersama P.G.I. tentang formulasi sumpah / janji jabatan, maupun mengenai penggunaan pakaian jabatan;
    2. Sejauh hal diatas belum mendapatkan ketentuan yang jelas, Majelis Sinode mengatur hal pengambilan sumpah / janji jabatan;
  3. Prinsip Penyelesaian
    Kehadiran Pendeta / Penginjil harus dipahami sebagai ‘mendampingi’ warga gereja yang diambil sumpah / janji jabatannya yang mempunyai makna – memberi dukungan spiritual bagi yang bersangkutan – untuk mendorongnya melihat bidang pekerjaannya sebagai suatu panggilan khusus dan tugas pelayanannya di tengah masyarakat.
  4. Petunjuk Pelaksanaan
    1. Diarahkan dan diusahakan agar didalam pelaksanaannya, yang diucapkan adalah JANJI. Namun bila oleh instansi yang berkepentingan telah dirumuskan sebagai SUMPAH, maka hendaknya tidak diucapkan kata-kata “Demi Allah”.
    2. Hendaknya warga GPIB yang diambil sumpah / janjinya didampingi oleh Pendeta / Penginjil GPIB. Dalam keadaan benar-benar tidak ada tenaga Pendeta / Penginjil dapat didampingi oleh Pejabat Gereja lainnya tanpa menggunakan Toga dan Majelis Jemaat yang menunjuknya segera melaporkan kepada Majelis Sinode;
    3. Pelaksanaan pengambilan Sumpah Jabatan ini wajib menggunakan Pedoman yang telah digariskan oleh Majelis Sinode.
GERAKAN KHARISMATIK
  1. Masalah :
    1. Yang dimaksud adalah adanya kenyataan suatu bentuk Gerakan yang bukan Gereja. Tapi ‘badan’ ini mengurus warga dan urusan Gereja, sebagaimana lazimnya Gereja melakukannya;
    2. Muncul kecenderungan sekte-sekte yang dapat mengakibatkan perpecahan persekutuan Gereja;
    3. Munculnya penafsiran yang sempit terhadap Alkitab, sehingga menimbulkan ‘kanon’ dalam Kanon, serta istilah-istilah yang eksklusif seperti ‘Hamba Tuhan’, dan sebagainya.
    4. Adanya Pejabat GPIB yang melibatkan diri dalam kegiatan di luar program jemaat / Gereja dalam bentuk pelayanan Gereja. Kegiatan mana nyata-nyata menggangu persekutuan, melakukan penyimpangan dalam ajaran, melalaikan tugas kepejabatan dan dengan demikian mengaburkan kemurnian hakikat, panggilan, pelayanan dan kesaksian Gereja.
  2. Kesimpulan Pembahasan :
    1. Secara teologis, gerakan-gerakan ini disebut Gerakan Independen;
    2. Pengawasan terhadap kemurnian Pemberitaan Firman harus ditingkatkan agar tidak terjadi penyalahgunaan pemberitaan untuk maksudmaksud yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
    3. Diperlukan intensifikasi pembinaan terhadap warga Gereja dan pembaharuan bentuk serta pola pelayanan, persekutuan dan kesaksian serta pembinaan seperti Kebaktian, Penelaahan Alkitab, Ceramah, Diskusi, Penyegaran Iman dan lain-lain;
    4. Perlu disusun model-model Tata Ibadah yang relevan pada setiap situasi, kondisi dan bersinambung termasuk pada setiap kategori warga dan wilayah jemaat (kota, desa, pedalaman) dengan berbagai situsi dan kondisinya.
  3. Prinsip Penyelesaian :
    1. Titik tolak untuk menjawab akibat-akibat yang ditimbulkan oleh gerakan ini haruslah dari pemahaman tentang Persekutuan Tubuh Kristus, dimana anggota-anggota / carang-carangnya tetap perlu dibina / dilengkapi segala sesuatunya dalam melaksanakan Pekerjaan Pelayanan dan Pembangunan Tubuh Kristus;
    2. Pejabat dan warga GPIB harus peka terhadap ciri-ciri dan kecenderungan- kecenderungan gerakan ini, antara lain :
      1. Pemahaman Alkitab yang cenderung ‘kanon’ dalam Kanon;
      2. Adanya persekutuan- persekutuan eksklusif yang tidak terbuka terhadap warga jemaat secara keseluruhan;
      3. Pola Doa yang menunjukkan gejala paksaan;
      4. Sistim kepemimpinan yang cenderung Otoriter dan kultus;
      5. Pemahaman tentang kepejabatan Gerejawi yang simpang siur dan dikaburkan;
      6. Tugas pengutusan yang secara operasional justru ke dalam Persekutuan Gereja yang sudah ada (Roma 15:20).
      7. Strategi pelayanan yang tertuju pada kelompok- kelompok tertentu dalam masyarakat dan persekutuan gereja, yang dianggap potensial secara material dan mempunyai kedudukan / status sentral dalam masyarakat.
  4. Petunjuk Pelaksanaan :
    1. Sikap konfrontatip dan menghakimi harus dihindari dengan mendudukkan personalia dan aktivitas / program dalam kerangka pelayanan gereja secara terpadu dan menyeluruh, sehingga memperkaya kesaksian gereja dan berlangung dengan tertib dan teratur;
    2. Diperlukan pengaturan khusus yang bukan hanya menyangkut hal-hal umum, melainkan juga hal program, luturgis, dan keuangan;
    3. Petunjuk dan teguran dan jika dianggap perlu tindakan yang tegas diberlakukan kepada Pejabat-Pejabat GPIB yang terlibat dalam kegiatan gerakan ini dan nyata-nyata mengganggu pelayanan, persekutuan, kesaksian gereja serta menyimpang dengan ajaran dan mengganggu ketertiban lingkungan gereja pada umumnya.
PEMBENTUKAN GEREJA BARU
  1. Masalah :
    1. Ada kenyatan bahkan makin banyak gereja baru yang muncul;
    2. Pengaburan pengertian tentang Gereja yang disebabkan berdirinya yayasan-yayasan, perpecahan lembaga gereja dan persekutuanpersekutuan oikumene yang kemudian mendirikan dan menjalankan fungsi gereja;
    3. Departemen Agama dalam memberikan legalisasi kepada lembaga-lembaga, badan-badan, organisasi-organisasi kegamaan ini hendaknya menggariskan suatu Ketentuan yang dapat dijadikan pedoman bagi seluruh umat Kristen. Pedoman dimaksud meliputi persyaratan, kejelasan latar belakang historis, tujuan dan usaha-usaha dan jenis lembaga yang ingin dibentuk. Disamping itu perlu pentahapan-pentahapan dan batas waktu dalam memberikan legalisasi tersebut;
    4. Adanya kecenderungan pemahaman tentang Amanat Agung Yesus Kristus yang dilakukan secara lepas sama sekali dari Pemahaman Tubuh Kristus.
  2. Kesimpulan Pembahasan :
    1. Gereja perlu mengambil sikap yang jelas terhadap pemahaman tentang Gereja baik dari pihak Gereja sendiri maupun dari luar lingkungannya;
    2. Dalam tanggung jawab berbangsa dan bernegara harus dicegah terjadinya proses desintegrasi dalam persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, yang mempunyai dampak desintegrasi sosial-politis;
  3. Prinsip penyelesaian :
    1. Secara teologis, Missi adalah tugas Gereja sebagai Persekutuan Tubuh Kristus di dunia ini;
    2. Missi Gereja harus ditempatkan dalam proporsi yang wajar sehingga missi itu terhindar dari manipulasi dan komersialisasi.
  4. Petunjuk Pelaksanaan :
    1. Majelis Sinode harus membicarakan hal ini di dalam kebersamaan PGI dan melalui PGI disampaikan kepada Pemerintah / Departemen Agama R.I. saran-saran untuk menghindari gejala-gejala yang menjurus kepada desintegrasi persekutuan Gereja dan antar Gereja-gereja bahkan kepada kalangan yang lebih luas yaitu Masyarakat, Bangsa dan Negara;
    2. Majelis Sinode agar menyusun suatu Pedoman yang menyangkut sanksi-sanksi yang jelas mengenai kesetiaan / loyalitas terhadap GPIB, terutama bagi para pejabat-pejabatnya;
    3. Majelis Sinode agar membuat formulir Atestasi yang seragam bagi seluruh Jemaat, yang mencakup tidak hanya segi administratip tetapi juga aspek pastoral;
    4. Bagi warga gereja, khusus para Pemuda yang tertarik dengan masalah-masalah ini agar disalurkan dan dilengkapi ke Perguruan Teologis demi perluasan wawasan dan tanggung jawab;
    5. Konven Pendeta / Penginjil atau Forum dan Media lainnya perlu ditingkatkan pengadaan dan bobotnya;
    6. Dari segi strategis, perlu dijajaki dan diprogramkan pengadaan pos-pos pelayanan di daerah pemukiman baru di pinggiran kota.
STATUS, FUNGSI DAN PERAN PENDETA / PENGINJIL
  1. Masalah :
    1. Keaneka ragaman latar belakang pendidikan dan suku bangsa di antara para Pendeta / Penginjil GPIB seperti halnya pejabat dan warga gereja pada umumnya di kalangan GPIB;
    2. Kurang tegasnya pelaksanaan Peraturan GPIB Nomor 4 Tahun 1982 dan penafsiran yang keliru mengenai status, fungsi dan peran kepejabatan, khususnya pendeta wanita.
    3. Perlu peningkatan mutu kepemimpinan jemaat di kalangan pejabat-pejabat GPIB untuk secara tepat menjawab tuntutan pelayanan yang semakin kompleks.
  2. Kesimpulan Pembahasan :
    1. Perlu tinjauan menyeluruh mengenai status fungsi dan peran Pendeta / Penginjil GPIB;
    2. Diperlukan Peraturan Pelaksanaan yang menjamin adanya peningkatan mutu kepemimpinan dan pengembangan karier secara berencana, terpadu dan bersinambung (jenjang karier).
  3. Prinsip penyelesaian :
    1. Memberlakukan Keputusan Persidangan Sinode XII GPIB tahun 1978 di Kuningan / Jakarta tentang Status, Fungsi dan Peran Pendeta Wanita / Wanita Pendeta, yang berbunyi antara lain :
      1. Pendeta Wanita diberlakukan sama dengan Pendeta Pria;
      2. Bagi Pendeta Wanita yang telah berkeluarga dapat dikenakan Peraturan tersendiri sesuai titik No, 5 Rekomendasi Konsultasi Pendeta Wanita tahun 1977 di Bina Warga Cipayung, Tanggal 25-26 Juni 1977. (Rekomendasi Konsultasi Pendeta Wanita 1977 di Bina Warga Cipayung, Tanggal 25-26 Juni 1977 : Titik No. 5. Bidang Pelayanan Praktis : Pendeta Wanita yang belum menikah, yang menikah dengan Pendeta dan yang menikah dengan awam, dapat melayani dalam bidang-bidang pelayanan umum, khusus dan kategorial sebagai Pendeta)
  4. Petunjuk Pelaksanaan :
    Peraturan Nomor 4 Tahun 1982 harus dilaksanakan secara konsekwen dan tegas dan bilamana perlu dilakukan koreksi-koreksi seraya memperhatikan kondisi jemaat secara sinodal dengan formasi kependetaan. Penginjil yang tersedia dibanding jumlah jemaat plus pos-pos pelayanan maupun bidang-bidang pelayanan partisipasi gereja dimasa mendatang sepert Guru / Pendidikan, Penyuluh Pertanian / Peternakan, PMKI, Pembinaan PA, PT, GP, PW dan PKB serta katekisasi.